Matahari mulai menenggelamkan
sinar kemerahannya di ujung barat kota kediri. Gelap dan dingin mulai mengepung
seisi alam. Namun, langkah kecil bertabur harapan dari sang pejuang tetap
kukuh. Meski terpasang beban yang berat dipundak kecilnya yang lelah, sang
pejuang tetap berjalan mengikuti langkah sandal jepitnya yang sudah usang.
Tapi, tidak dengan harapannya, tak pernah sedikitpun dibiarkannya usang diterpa
debu-debu jalanan.
Argi, begitulah orang-orang
memanggilnya. Siswa kelas 5 SD yang berjuang untuk masa depan yang entah dia
sendiri tak pernah tahu apakah masih ada setitik saja masa depan untuk dirinya.
Ayah dan ibunya berpisah setahun yang lalu, dan dia melarikan diri dari mereka.
Mungkin lebih dari itu, dia melarikan diri dari kenyataan perih yang harus
dihadapinya. Dia mungkin telah jauh berlari, bahkan terlalu jauh untuk kembali.
“Besok hari senin, aku belum buat
PR matematika. Gawat...” gumamnya dalam hati. Saat itu matahari hampir
kehilangan semua cahayanya.Sedangkan anak kecil bertubuh kecil itu terus
mempercepat lajunya. Meski pundaknya lelah membawa sepasang penggorengan yang
masih panas, dia tak peduli. Baginya itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan
bekas luka menganga yang ditinggalkan oleh perihnya kenyataan
Selama ini, Argi tinggal
menumpang di tempat orang lain. Tatapi tidak benar-benar tinggal bersama.
Kamarnya adalah gudang yang sudah tak terpakai yang jaraknya sekitar 10 meter
dari rumah orang yang memberinya tempat ini. Namun itu sama sekali tak masalah
baginya, dia sudah bersyukur masih diberi tempat tinggal dan makanan.Padahal,
sebelumnya dia memiliki semua yang dia butuhkan. Rumah yang mewah, kasur empuk,
ruangan yang nyaman, dan yang terpenting adalah dia memiliki kasih sayang dari
kedua orang tuanya.
Jarum pendek jam yang tergantung
di tembok bercat kelabu sudah menunjuk angka 8. Argi sudah selesai mengerjakan
tugasnya. Entah mengapa perutnya masih terasa lapar padahal dia sudah makan
tadi sore. Dia terdiam lama, lama sekali. Sambil menahan laparnya, dia muali membayangkan
betapa bahagianya dirinya 1 tahun yang lalu. Dia mengingat semua hal yang
pernah dia miliki sebelumnya. Air matanya mulai menetes membasahi pipi
coklatnya. Dia merindukan semuanya, rumah mewah, kasur empuk dan ruangan yang
nyaman, dia merindukan kehidupannya yang dulu. Terlebih lagi, dia merindukan
kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Entah berapa lama dia menangis
sampai tertidur. Dia hanya membuka mata dan hari sudah pagi. Hari itu panas,
namun Argi merasa kedinginan. Tapi tetap tak sedingin hatinya. Tubuh kecilnya
menggigil dan dia merasa pusing. Dia berjalan sempoyongan, mukanya pucat,
bibirnya kering dan biru. Beberapa orang yang mengenalnya melarang dia pergi ke
sekolah dan menyuruhnya untuk beristirahat di rumahnya. Namun, dia menolak. Dia
tidak ingin memadamkan setitik cahaya masa depannya.
“Sepertinya aku tidak akan
berjualan hari ini” batin Argi yang terus melangkahkan kakinya ke sekolah. Dia
sama sekali tak peduli bila tubuhnya harus hancur sekalipun, dia hanya tak
ingin memadamkan setitik cahaya itu. Dia merasa tubuh kecilnya kaku dan lemas,
dengan payah dia berhasil sampai di sekolahnya. Dia berkeringat, tubuhnya
basah. Namun jiwanya tetap menggigil.
“Apa masa depanku sesulit menggerakkan tubuhku saat ini?”
“Apa aku akan mati sebelum meraihnya?”
Kata-kata
yang keluar dari bibir mungilnya sedikit aneh. Mungkin karena demam yang
menyerangnya semalam. Entahlah, dia hanya ingin melakukan yang terbaik yang
bisa dilakukannya hari ini. Dia tak ingin menunda segala apapun itu di lain
waktu, dia benar-benar menjaga waktunya.
Disekolah,
dia memiliki teman bernama Rio. Mereka berteman sejak lama, jauh sebelum orang
tua Argi berpisah. Namun, Rio tak pernah tahu bagaimana kehidupan Argi
sebenarnya. Argi memang memendam ceritanya rapat-rapat. Dia tak ingin Rio
menjadi kasihan padanya. Terlebih, dia takut Rio tidak mau berteman lagi
dengannya bila dia menceritakan kehidupannya selama ini.
Bel
pulang telah berdering, dan dengan cepat Argi memulai pembicaraan. Dia ingin
membagi semua rasanya sekarang, dia ingin meluapkan semuanya..
“Rio, aku kangen sama mama papa”.
“Kenapa kamu gak pulang ke salah satu dari mereka?”,
tanggap Rio dengan cepat.
“Aku udah jauh melangkah, bahkan terlalu jauh buat balik.
Sekarang aku gak tau mereka ada dimana, rumah yang dulu kami tempati dijual”,
jelas Argi lemas.
“Kalo gitu suruh bibi kamu nelpon mereka biar mereka tau
kalo kamu sama bibi kamu”. Terang Rio.
“Rio, maaf aku gak pernah cerita. Tapi sebenarnya aku gak
tinggal sama bibi ku. Aku hanya numpang di rumah orang. Aku takut kamu gak mau
temenan lagi sama aku soalnya aku sekarang bukan aku yang dulu. Aku sekarang
gak punya apa-apa.”
Argi
mulai menangis. Suasanya kelas benar-benar telah sunyi. Terlalu sunyi untuk
Rio, tapi tidak bagi Argi. Kesunyian dalam hidupnya lebih dari ini, bahkan
lebih dari apapun. Dan Rio hanya terdiam, bibirnya taku tak mampu mengatakan
apapun.
“Rio, kalo kamu ketemu sama orang tuaku tolong bilangin
kalo aku kangen mereka. Aku pengen ketemu mereka. Aku tinggal di jalan Cempaka
57.”
Kata-kata
yang keluar dari mulut Argi sangat pelan. Tidak seperti biasanya, bahkan tidak
seperti Argi yang kemarin. Dia benar-benar melepas semua penderitaan dari
hatinya yang sudah lama terluka itu. Semua kata-katanya terasa dingin bagi Rio,
lebih dingin dari bongkahan es. Jauh lebih dingin dari apapun yang Rio tahu.
Mendengarnya,
Rio langsung berlari dari kelas. Rio cepat-cepat pulang. Rio mengayuh sepedanya
dengan kencang sambil menahan air mata yang sudah ingin keluar dari pelupuk
matanya. Rio benar-benar merasakan luka Argi saat ini. Luka yang ditanam
olehnya sendirian selama ini. Luka yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Rio,
atau oleh siapapun.
Sedang
Argi terus menangis di sepanjang jalan pulang. Dia hanya ingin tidur dan
bermimpi. Tentang kebahagiaan, tentang hal-hal yang indah yang tak pernah
tergores seberkas luka sedikitpun. Dia tak ingin bangun cepat-cepat, dan
menghadapi pahitnya kenyataan.
Saat itu
sudah jam 5 sore. Argi membuka matanya perlahan. Dilihatnya sosok Ayah dan Ibunya
sedang berada disampingnya. “Apa ini surga?” katanya lirih. “Wah, jagoan papa
udah bangun nih”. “Tadi mamanya Rio nelpon mama, katanya kamu ada di sini”. Suara
itu terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi, namun juga terlalu fana untuk
menjadi sebuah kenyataan bagi Argi.
“Papa..
Mama..” kata Argi sambil meneteskan air mata. Dia seolah melihat cahaya masa
depannya bersinar kembali. Dia merasa bahwa kehidupannya baru saja dimulai.
Seperti saat pertama kali bayi dilahirkan, dia menangis memeluk kedua orang
tuanya.
“Mama dan Papa sudah memutuskan untuk rujuk. Kita akan
tinggal bersama-sama lagi. Cuma Mama, Papa dan Argi.”
Mendengarnya
seperti kado terindah untuk Argi. Namun dia terlalu sakit untuk dapat terjaga.
Tubuhnya masih terasa berat, dan dia sangat lelah.Baginya, kejadian setahun ini
adalah sebuah perjuangan terbesarnya. Dia mengalami banyak penderitaan, namun
semuanya tak lagi dirasakannya saat ini. Dia benar-benar bahagia dapat kembali
lagi, kembali seperti dulu.
Matanya benar-benar berat. Dia
masih sangat mengantuk, dia kembali tertidur di mobil. Dan dia kembali bermimpi
tentang kebahagiaan, tentang semua hal-hal yang indah yang tak pernah tergores
oleh luka sedikitpun..
0 comments:
Post a Comment