Powered by Blogger.
RSS

Pages

Sebuah Perjuangan


Matahari mulai menenggelamkan sinar kemerahannya di ujung barat kota kediri. Gelap dan dingin mulai mengepung seisi alam. Namun, langkah kecil bertabur harapan dari sang pejuang tetap kukuh. Meski terpasang beban yang berat dipundak kecilnya yang lelah, sang pejuang tetap berjalan mengikuti langkah sandal jepitnya yang sudah usang. Tapi, tidak dengan harapannya, tak pernah sedikitpun dibiarkannya usang diterpa debu-debu jalanan.
Argi, begitulah orang-orang memanggilnya. Siswa kelas 5 SD yang berjuang untuk masa depan yang entah dia sendiri tak pernah tahu apakah masih ada setitik saja masa depan untuk dirinya. Ayah dan ibunya berpisah setahun yang lalu, dan dia melarikan diri dari mereka. Mungkin lebih dari itu, dia melarikan diri dari kenyataan perih yang harus dihadapinya. Dia mungkin telah jauh berlari, bahkan terlalu jauh untuk kembali.
“Besok hari senin, aku belum buat PR matematika. Gawat...” gumamnya dalam hati. Saat itu matahari hampir kehilangan semua cahayanya.Sedangkan anak kecil bertubuh kecil itu terus mempercepat lajunya. Meski pundaknya lelah membawa sepasang penggorengan yang masih panas, dia tak peduli. Baginya itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan bekas luka menganga yang ditinggalkan oleh perihnya kenyataan
Selama ini, Argi tinggal menumpang di tempat orang lain. Tatapi tidak benar-benar tinggal bersama. Kamarnya adalah gudang yang sudah tak terpakai yang jaraknya sekitar 10 meter dari rumah orang yang memberinya tempat ini. Namun itu sama sekali tak masalah baginya, dia sudah bersyukur masih diberi tempat tinggal dan makanan.Padahal, sebelumnya dia memiliki semua yang dia butuhkan. Rumah yang mewah, kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan yang terpenting adalah dia memiliki kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Jarum pendek jam yang tergantung di tembok bercat kelabu sudah menunjuk angka 8. Argi sudah selesai mengerjakan tugasnya. Entah mengapa perutnya masih terasa lapar padahal dia sudah makan tadi sore. Dia terdiam lama, lama sekali. Sambil menahan laparnya, dia muali membayangkan betapa bahagianya dirinya 1 tahun yang lalu. Dia mengingat semua hal yang pernah dia miliki sebelumnya. Air matanya mulai menetes membasahi pipi coklatnya. Dia merindukan semuanya, rumah mewah, kasur empuk dan ruangan yang nyaman, dia merindukan kehidupannya yang dulu. Terlebih lagi, dia merindukan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Entah berapa lama dia menangis sampai tertidur. Dia hanya membuka mata dan hari sudah pagi. Hari itu panas, namun Argi merasa kedinginan. Tapi tetap tak sedingin hatinya. Tubuh kecilnya menggigil dan dia merasa pusing. Dia berjalan sempoyongan, mukanya pucat, bibirnya kering dan biru. Beberapa orang yang mengenalnya melarang dia pergi ke sekolah dan menyuruhnya untuk beristirahat di rumahnya. Namun, dia menolak. Dia tidak ingin memadamkan setitik cahaya masa depannya.
“Sepertinya aku tidak akan berjualan hari ini” batin Argi yang terus melangkahkan kakinya ke sekolah. Dia sama sekali tak peduli bila tubuhnya harus hancur sekalipun, dia hanya tak ingin memadamkan setitik cahaya itu. Dia merasa tubuh kecilnya kaku dan lemas, dengan payah dia berhasil sampai di sekolahnya. Dia berkeringat, tubuhnya basah. Namun jiwanya tetap menggigil.
“Apa masa depanku sesulit menggerakkan tubuhku saat ini?”
“Apa aku akan mati sebelum meraihnya?”
            Kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya sedikit aneh. Mungkin karena demam yang menyerangnya semalam. Entahlah, dia hanya ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya hari ini. Dia tak ingin menunda segala apapun itu di lain waktu, dia benar-benar menjaga waktunya.
            Disekolah, dia memiliki teman bernama Rio. Mereka berteman sejak lama, jauh sebelum orang tua Argi berpisah. Namun, Rio tak pernah tahu bagaimana kehidupan Argi sebenarnya. Argi memang memendam ceritanya rapat-rapat. Dia tak ingin Rio menjadi kasihan padanya. Terlebih, dia takut Rio tidak mau berteman lagi dengannya bila dia menceritakan kehidupannya selama ini.
            Bel pulang telah berdering, dan dengan cepat Argi memulai pembicaraan. Dia ingin membagi semua rasanya sekarang, dia ingin meluapkan semuanya..
“Rio, aku kangen sama mama papa”.
“Kenapa kamu gak pulang ke salah satu dari mereka?”, tanggap Rio dengan cepat.
“Aku udah jauh melangkah, bahkan terlalu jauh buat balik. Sekarang aku gak tau mereka ada dimana, rumah yang dulu kami tempati dijual”, jelas Argi lemas.
“Kalo gitu suruh bibi kamu nelpon mereka biar mereka tau kalo kamu sama bibi kamu”. Terang Rio.
“Rio, maaf aku gak pernah cerita. Tapi sebenarnya aku gak tinggal sama bibi ku. Aku hanya numpang di rumah orang. Aku takut kamu gak mau temenan lagi sama aku soalnya aku sekarang bukan aku yang dulu. Aku sekarang gak punya apa-apa.”
            Argi mulai menangis. Suasanya kelas benar-benar telah sunyi. Terlalu sunyi untuk Rio, tapi tidak bagi Argi. Kesunyian dalam hidupnya lebih dari ini, bahkan lebih dari apapun. Dan Rio hanya terdiam, bibirnya taku tak mampu mengatakan apapun.
“Rio, kalo kamu ketemu sama orang tuaku tolong bilangin kalo aku kangen mereka. Aku pengen ketemu mereka. Aku tinggal di jalan Cempaka 57.”
            Kata-kata yang keluar dari mulut Argi sangat pelan. Tidak seperti biasanya, bahkan tidak seperti Argi yang kemarin. Dia benar-benar melepas semua penderitaan dari hatinya yang sudah lama terluka itu. Semua kata-katanya terasa dingin bagi Rio, lebih dingin dari bongkahan es. Jauh lebih dingin dari apapun yang Rio tahu.
            Mendengarnya, Rio langsung berlari dari kelas. Rio cepat-cepat pulang. Rio mengayuh sepedanya dengan kencang sambil menahan air mata yang sudah ingin keluar dari pelupuk matanya. Rio benar-benar merasakan luka Argi saat ini. Luka yang ditanam olehnya sendirian selama ini. Luka yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Rio, atau oleh siapapun.
            Sedang Argi terus menangis di sepanjang jalan pulang. Dia hanya ingin tidur dan bermimpi. Tentang kebahagiaan, tentang hal-hal yang indah yang tak pernah tergores seberkas luka sedikitpun. Dia tak ingin bangun cepat-cepat, dan menghadapi pahitnya kenyataan.
            Saat itu sudah jam 5 sore. Argi membuka matanya perlahan. Dilihatnya sosok Ayah dan Ibunya sedang berada disampingnya. “Apa ini surga?” katanya lirih. “Wah, jagoan papa udah bangun nih”. “Tadi mamanya Rio nelpon mama, katanya kamu ada di sini”. Suara itu terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi, namun juga terlalu fana untuk menjadi sebuah kenyataan bagi Argi.
            “Papa.. Mama..” kata Argi sambil meneteskan air mata. Dia seolah melihat cahaya masa depannya bersinar kembali. Dia merasa bahwa kehidupannya baru saja dimulai. Seperti saat pertama kali bayi dilahirkan, dia menangis memeluk kedua orang tuanya.
“Mama dan Papa sudah memutuskan untuk rujuk. Kita akan tinggal bersama-sama lagi. Cuma Mama, Papa dan Argi.”
            Mendengarnya seperti kado terindah untuk Argi. Namun dia terlalu sakit untuk dapat terjaga. Tubuhnya masih terasa berat, dan dia sangat lelah.Baginya, kejadian setahun ini adalah sebuah perjuangan terbesarnya. Dia mengalami banyak penderitaan, namun semuanya tak lagi dirasakannya saat ini. Dia benar-benar bahagia dapat kembali lagi, kembali seperti dulu.
Matanya benar-benar berat. Dia masih sangat mengantuk, dia kembali tertidur di mobil. Dan dia kembali bermimpi tentang kebahagiaan, tentang semua hal-hal yang indah yang tak pernah tergores oleh luka sedikitpun..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment