Powered by Blogger.
RSS

Pages

Aku Memilihmu


Aku Memilihmu
Dimas Yulian Ashari

“Malam ini hujan turun lagi..”
“Bersama kenangan yang mungkin luka dihati..”
“Luka yang harusnya dapat ku obati..”
“Yang ku harap tiada penat terjadi..”

Ya, malam ini memang gerimis menyentuh tubuh bumi dengan lembut. Sedangkan kami hanya duduk di sini dan menyanyikan lagu-lagu yang dia suka. Dengan gitar ku dan merdu suaranya, malam ini terasa lebih hangat dibandingkan selimut tebal. Meski malam ini bulan bersembunyi di balik hujan, aku tetap bisa menikmati wajahnya dari sini. Tetap indah, meski tak bermandikan cahaya bulan.

Ditengah keindahan nyanyiannya, tiba-tiba senar gitar yang kumainkan putus.
“Aduh.. putus” Keluhku.
“Nomer berapa yang putus?” Dia berhenti bernyanyi.
“Nomer 2. Punya cadangan gak?” Tanyaku setengah kesal.
“Wah.. Aku punyanya nomer 1. Ya udah gak apa-apa deh”

Dan akhirnya kami berbincang lama sekali. Tentang kehidupan, tentang hal-hal yang dia inginkan, tentang doa-doa kami untuk Sang Kholiq. Dia bahkan tak segan untuk menanyakan masa depan padaku. Tentang kehidupanku nantinya, tentang bagaimana hubungan kami di esok hari. Aku hanya tersenyum dan mulai menanyakan hal-hal yang kurasakan saat ini.

“Aku yakin kamu pasti akan bertemu orang-orang hebat diluar sana, orang-orang yang bahkan jauh lebih hebat dari aku. Jauh lebih, lebih dan lebih dari apa yang aku punya untuk mu. Dan aku gak akan membatasi kamu untuk memilih jalan hidup kamu.” Aku mulai menuangkan semua perasaanku pada pembicaraan kami.

“Dan aku sudah memilih pilihanku sejak lama. Kamu..” Balasnya dengan garis senyum mewarnai wajah manisnya.

Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk gombal-gombalan. Dan aku membalasnya dengan serius, padahal selama ini aku orangnya gak pernah serius. Haha

“Aku tahu, aku mungkin gak bisa ngasih semua yang kamu butuhkan nantinya. Aku gak bisa menjadikan kamu ratu dalam kehidupanmu. Bahkan aku gak tau apakah nantinya kehidupanku akan mudah atau tidak, bahagia atau tidak."

Dia diam beberapa saat. Aku takut dia kecewa, jadi langsung saja ku tegaskan padanya. “Kalau memang kamu gak bisa buat. . . .”

“Aku hanya ingin jadi ratu mu di surga..” Aku bahkan tak sempat menyelesaikan kata-kataku.

“Aku bukan orang yang bisa terus menyayangimu. Suatu saat aku juga akan merasa bosan denganmu, aku akan lelah menyayangimu. Dan mungkin aku tak bisa memperhatikanmu dengan baik selamanya..”

“Aku pasti juga merasakan itu, tapi aku akan tetap menemani disisimu” Bahkan dia masih bisa tersenyum setelah kukatakan hal itu.

“Aku akan lebih memilih anak-anaku dari pada kamu.” Aku bahkan tak berani menatap wajahnya saat ini.
“Aku juga akan memilih anak-anakku. Dan aku juga memilih kamu..”

“Baiklah.. Aku bukan orang yang sempurna. Aku pemarah, pelupa, keras kepala. Dan aku bukan imam yang baik untuk orang sepertimu.”

“Aku juga bukan makmum yang baik. Tapi aku bersyukur kamu gak sempurna.” Katanya tegas.
Kemudian dia menambahkan, “Kamu gak akan butuh aku kalo kamu sempurna. Kamu akan memilih orang lain, dan bukan aku. Makanya aku gak pengen kamu jadi orang yang sempurna, agar aku bisa menyempurnakanmu.”

Kuhentikan semua pertanyaanku kepadanya, keraguan ini telah luluh dan aku telah benar-benar memilihnya. Dia memang bukan orang yang sempurna, tapi dia menyayangiku. Dan aku yakin orang yang menyayangiku akan menemaniku sampai ajal menemuiku. Orang yang menyayangiku tak mungkin meninggalkanku saat aku renta dan rapuh untuk bernafas. Orang yang menyayangiku akan tetap merawatku saat aku hanya bisa terbaring di ranjang kematianku.

Aku bahkan tak peduli lagi siapa dirinya. Aku hanya ingin membahagiakannya, menjadikannya ratu semampuku, menyayanginya meski tak bisa menyamainya. Aku ingin hidup lebih lama untuk membuatnya merasa bahwa dia mengambil arah yang benar. Aku ingin terus, terus, dan terus menyayanginya meski keriput dan uban terus tumbuh dalam wajahnya.

Aku ingin menyayanginya, sampai kapan pun begitu. Seperti hujan yang akan selalu menyentuh tubuh bumi dengan lembut. Tanpa ada pengharapan dia akan indah didalamnya. Seperti petikan gitar dan alunan suara merdu. Aku ingin menyayanginya tak sebatas penafsiran kata CINTA. Aku ingin menyayanginya tak sebatas ucapan doa. Lebih dari itu, dan lebih dari apapun yang dia panjatkan dalam setiap hembus nafasnya..
Aku memilihnya... Sudah memilihnya,,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Artian Cinta



Artian Cinta
Dimas Yulian Ashari

Hati ku hancur malam ini. Mendengarkan semua ceritamu, cerita bahagiamu. Namun kali ini bukan cerita tentang hari-harimu, bukan cerita tentang petualanganmu. Malam ini kamu membawakan dongeng pengantar tidur tentang perasaan mu, tentang hati yang sedang jatuh cinta. Dengan orang lain, dan itu bukan aku.

Ternyata aku salah. Aku kira kamu bisa merasakan bahwa aku sayang kamu setelah semua sikapku kepadamu selama ini. Maaf, aku benar-benar bodoh berharap kamu juga punya rasa yang sama sepertiku. Karena ternyata kamu hanya menganggapku sebagai sahabat, tak lebih. Maaf aku menyayangimu dalam kediamanku. Maaf ya, Karin.

Semua ceritamu tentangnya seperti kanker bagiku, yang terus menerus menggerogoti seisi hatiku. Semakin lama, rasa sakit yang kuderita semakin akut. Dan kamu tak pernah tahu tentang itu, tak pernah sedikitpun. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tau. Karin, setiap malam aku berharap agar kamu bahagia, namun tak ku sangka hal yang membuatmu bahagia justru melukai diriku sendiri. Aku sungguh ingin kamu tahu bahwa aku sayang kamu.

Aku benar-benar memperhatikan wajahmu saat kamu bercerita semua tentang dia, orang yang kamu puja. Kamu nampak berbeda, wajahmu bercahaya seperti taburan berlian yang di terpa sinar purnama, dan itu benar-benar indah. Sesuatu yang tak pernah bisa ku temukan selama ini, selama kau menceritakan semua kehidupanmu kepadaku.

Sementara kamu menceritakan semua tentang kalian berdua, aku disini tak bisa menahan lagi bendungan air mata yang ingin segera menetes ini. Kuputuskan untuk menutup vidio call kita. Dan kubilang saja padamu bahwa dirumahku listriknya sedang padam. Yah, aku memang jago berbohong ya.. Termasuk membohongi diriku sendiri bahwa aku turut bahagia mendengar semua ceritamu. 

Karin, bukankah aku pernah menulis sebuah puisi yang telah kutunjukkan kepadamu? Saat itu aku meminta pendapatmu, dan kamu menyukainya. Tapi, mungkin kamu tak pernah sadar bahwa semua yang aku tulis untuk kamu. Semua hidupku untuk mu..


Aku Sebatas Kau
Kau adalah cahaya batas warna.
Kau cerita batas masa.
Kau mungkin mimpi batas logika.
Aku memujimu, tak terbatas oleh rasa.
Mengagumimu melampaui batas kemungkinan.
Semua yang melebihi batas kewajaran.
Aku cinta kau, tak dibatasi rincian teori dilatasi.
Artianmu lebih luas dari semua batas yang tercipta.
Kau bagiku, tak terbatas oleh arti kata selamanya.


Dimalam-malam yang berikutnya, kau tetap bercerita tentang semua perasaanmu kepadanya. Aku benar-benar sedih, tapi kamu memang berhak mendapatkan yang lebih baik. Dan mungkin dia lah yang terbaik untuk hidup indahmu, bukan aku..

Hari berganti hari, waktu terus berlari meninggalkan apa-apa yang tak mampu mengejarnya. Seperti aku yang kehilangan jejak waktu, untuk mengejar kemanapun kamu berlari.  Maaf aku yang terlalu lemah.             

Sekian lama aku menemani semua cerita-cerita tentang kehidupanmu, aku rasa kenyataan bahwa kamu memilihnya untuk menjadi pendamping hidupmu adalah cerita yang paling menyakitkan yang pernah aku dengar. Meski aku tetap tersenyum untukmu dan mengucapkan “aku turut bahagia”. Namun, aku benar-benar sakit. Jauh di dalam hatiku aku kehilangan kehidupanku.             

Ikatan pernikahanmu dengannya tak bisa menahan rasa ini, malah semakin aku sadar bahwa aku mencintaimu lebih dari yang bisa ku pahami. Tak sebatas ingin memiliki ragamu, aku mencintai mu lebih dari untuk mendapat imbalan cinta darimu. Aku hanya mencintai, dan tak inginkan kau tahu. Hanya sebatas mencintaimu.            

Karin, bahkan sampai sekarang aku masih mencintaimu. Orang yang telah menjadi milik orang lain selamanya. Dan aku tak ingin berdamping dengan orang selain dirimu, jadi aku akan tetap disini sendiri menunggumu. Menunggu orang yang tak akan pernah menjadi milikku.             

Inilah artian cintaku, Karin. Serpihan rasa yang kuceritakan untukku seorang, untuk diriku sendiri. Dalam do’a ku meminta agar kamu selalu bahagia seperti kisah-kisah indah mu yang telah terukir di dalam setiap dongeng pengantar tidurku.
Kamu bagiku, tak terbatas arti kata selamanya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebuah Perjuangan


Matahari mulai menenggelamkan sinar kemerahannya di ujung barat kota kediri. Gelap dan dingin mulai mengepung seisi alam. Namun, langkah kecil bertabur harapan dari sang pejuang tetap kukuh. Meski terpasang beban yang berat dipundak kecilnya yang lelah, sang pejuang tetap berjalan mengikuti langkah sandal jepitnya yang sudah usang. Tapi, tidak dengan harapannya, tak pernah sedikitpun dibiarkannya usang diterpa debu-debu jalanan.
Argi, begitulah orang-orang memanggilnya. Siswa kelas 5 SD yang berjuang untuk masa depan yang entah dia sendiri tak pernah tahu apakah masih ada setitik saja masa depan untuk dirinya. Ayah dan ibunya berpisah setahun yang lalu, dan dia melarikan diri dari mereka. Mungkin lebih dari itu, dia melarikan diri dari kenyataan perih yang harus dihadapinya. Dia mungkin telah jauh berlari, bahkan terlalu jauh untuk kembali.
“Besok hari senin, aku belum buat PR matematika. Gawat...” gumamnya dalam hati. Saat itu matahari hampir kehilangan semua cahayanya.Sedangkan anak kecil bertubuh kecil itu terus mempercepat lajunya. Meski pundaknya lelah membawa sepasang penggorengan yang masih panas, dia tak peduli. Baginya itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan bekas luka menganga yang ditinggalkan oleh perihnya kenyataan
Selama ini, Argi tinggal menumpang di tempat orang lain. Tatapi tidak benar-benar tinggal bersama. Kamarnya adalah gudang yang sudah tak terpakai yang jaraknya sekitar 10 meter dari rumah orang yang memberinya tempat ini. Namun itu sama sekali tak masalah baginya, dia sudah bersyukur masih diberi tempat tinggal dan makanan.Padahal, sebelumnya dia memiliki semua yang dia butuhkan. Rumah yang mewah, kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan yang terpenting adalah dia memiliki kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Jarum pendek jam yang tergantung di tembok bercat kelabu sudah menunjuk angka 8. Argi sudah selesai mengerjakan tugasnya. Entah mengapa perutnya masih terasa lapar padahal dia sudah makan tadi sore. Dia terdiam lama, lama sekali. Sambil menahan laparnya, dia muali membayangkan betapa bahagianya dirinya 1 tahun yang lalu. Dia mengingat semua hal yang pernah dia miliki sebelumnya. Air matanya mulai menetes membasahi pipi coklatnya. Dia merindukan semuanya, rumah mewah, kasur empuk dan ruangan yang nyaman, dia merindukan kehidupannya yang dulu. Terlebih lagi, dia merindukan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Entah berapa lama dia menangis sampai tertidur. Dia hanya membuka mata dan hari sudah pagi. Hari itu panas, namun Argi merasa kedinginan. Tapi tetap tak sedingin hatinya. Tubuh kecilnya menggigil dan dia merasa pusing. Dia berjalan sempoyongan, mukanya pucat, bibirnya kering dan biru. Beberapa orang yang mengenalnya melarang dia pergi ke sekolah dan menyuruhnya untuk beristirahat di rumahnya. Namun, dia menolak. Dia tidak ingin memadamkan setitik cahaya masa depannya.
“Sepertinya aku tidak akan berjualan hari ini” batin Argi yang terus melangkahkan kakinya ke sekolah. Dia sama sekali tak peduli bila tubuhnya harus hancur sekalipun, dia hanya tak ingin memadamkan setitik cahaya itu. Dia merasa tubuh kecilnya kaku dan lemas, dengan payah dia berhasil sampai di sekolahnya. Dia berkeringat, tubuhnya basah. Namun jiwanya tetap menggigil.
“Apa masa depanku sesulit menggerakkan tubuhku saat ini?”
“Apa aku akan mati sebelum meraihnya?”
            Kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya sedikit aneh. Mungkin karena demam yang menyerangnya semalam. Entahlah, dia hanya ingin melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya hari ini. Dia tak ingin menunda segala apapun itu di lain waktu, dia benar-benar menjaga waktunya.
            Disekolah, dia memiliki teman bernama Rio. Mereka berteman sejak lama, jauh sebelum orang tua Argi berpisah. Namun, Rio tak pernah tahu bagaimana kehidupan Argi sebenarnya. Argi memang memendam ceritanya rapat-rapat. Dia tak ingin Rio menjadi kasihan padanya. Terlebih, dia takut Rio tidak mau berteman lagi dengannya bila dia menceritakan kehidupannya selama ini.
            Bel pulang telah berdering, dan dengan cepat Argi memulai pembicaraan. Dia ingin membagi semua rasanya sekarang, dia ingin meluapkan semuanya..
“Rio, aku kangen sama mama papa”.
“Kenapa kamu gak pulang ke salah satu dari mereka?”, tanggap Rio dengan cepat.
“Aku udah jauh melangkah, bahkan terlalu jauh buat balik. Sekarang aku gak tau mereka ada dimana, rumah yang dulu kami tempati dijual”, jelas Argi lemas.
“Kalo gitu suruh bibi kamu nelpon mereka biar mereka tau kalo kamu sama bibi kamu”. Terang Rio.
“Rio, maaf aku gak pernah cerita. Tapi sebenarnya aku gak tinggal sama bibi ku. Aku hanya numpang di rumah orang. Aku takut kamu gak mau temenan lagi sama aku soalnya aku sekarang bukan aku yang dulu. Aku sekarang gak punya apa-apa.”
            Argi mulai menangis. Suasanya kelas benar-benar telah sunyi. Terlalu sunyi untuk Rio, tapi tidak bagi Argi. Kesunyian dalam hidupnya lebih dari ini, bahkan lebih dari apapun. Dan Rio hanya terdiam, bibirnya taku tak mampu mengatakan apapun.
“Rio, kalo kamu ketemu sama orang tuaku tolong bilangin kalo aku kangen mereka. Aku pengen ketemu mereka. Aku tinggal di jalan Cempaka 57.”
            Kata-kata yang keluar dari mulut Argi sangat pelan. Tidak seperti biasanya, bahkan tidak seperti Argi yang kemarin. Dia benar-benar melepas semua penderitaan dari hatinya yang sudah lama terluka itu. Semua kata-katanya terasa dingin bagi Rio, lebih dingin dari bongkahan es. Jauh lebih dingin dari apapun yang Rio tahu.
            Mendengarnya, Rio langsung berlari dari kelas. Rio cepat-cepat pulang. Rio mengayuh sepedanya dengan kencang sambil menahan air mata yang sudah ingin keluar dari pelupuk matanya. Rio benar-benar merasakan luka Argi saat ini. Luka yang ditanam olehnya sendirian selama ini. Luka yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Rio, atau oleh siapapun.
            Sedang Argi terus menangis di sepanjang jalan pulang. Dia hanya ingin tidur dan bermimpi. Tentang kebahagiaan, tentang hal-hal yang indah yang tak pernah tergores seberkas luka sedikitpun. Dia tak ingin bangun cepat-cepat, dan menghadapi pahitnya kenyataan.
            Saat itu sudah jam 5 sore. Argi membuka matanya perlahan. Dilihatnya sosok Ayah dan Ibunya sedang berada disampingnya. “Apa ini surga?” katanya lirih. “Wah, jagoan papa udah bangun nih”. “Tadi mamanya Rio nelpon mama, katanya kamu ada di sini”. Suara itu terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi, namun juga terlalu fana untuk menjadi sebuah kenyataan bagi Argi.
            “Papa.. Mama..” kata Argi sambil meneteskan air mata. Dia seolah melihat cahaya masa depannya bersinar kembali. Dia merasa bahwa kehidupannya baru saja dimulai. Seperti saat pertama kali bayi dilahirkan, dia menangis memeluk kedua orang tuanya.
“Mama dan Papa sudah memutuskan untuk rujuk. Kita akan tinggal bersama-sama lagi. Cuma Mama, Papa dan Argi.”
            Mendengarnya seperti kado terindah untuk Argi. Namun dia terlalu sakit untuk dapat terjaga. Tubuhnya masih terasa berat, dan dia sangat lelah.Baginya, kejadian setahun ini adalah sebuah perjuangan terbesarnya. Dia mengalami banyak penderitaan, namun semuanya tak lagi dirasakannya saat ini. Dia benar-benar bahagia dapat kembali lagi, kembali seperti dulu.
Matanya benar-benar berat. Dia masih sangat mengantuk, dia kembali tertidur di mobil. Dan dia kembali bermimpi tentang kebahagiaan, tentang semua hal-hal yang indah yang tak pernah tergores oleh luka sedikitpun..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Surat Untuk Matahariku


Surat untuk Matahariku
Dimas Yulian Ashari

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu pada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan pada hujan yang menjadikannya tiada.

Kita selalu menyukai puisi itu. Iya kan, Lintang?
Aku Ingin” karya Sapardi Djoko. Aku masih sangat menyukainya, aku belum menemukan puisi yang bisa mengalahkan kedalaman makna puisi itu, bagaimana denganmu?
Tak terasa sudah memasuki tahun keempat pasca aku putus dengan mu, Lintang Anggraini. Aku masih saja merasakan kesepian yang mendalam. Ini aneh, tapi aku sudah menyerah untuk membunuh rasa ini. Aku menyerah..
Hari ini, dihari yang sama, tiga tahun yang lalu. Kita adalah orang yang paling bahagia dengan adanya hari ini. Namun, kini semua terasa berbeda. Bahkan, kita tak pernah merasakan hari itu datang lagi. Karena kita sudah harus berpisah sebelum hari yang sama datang. Maafkan aku..
Entah kenapa, hari ini aku masih saja ingin menulis surat untukmu, untuk matahariku. Padahal sudah 2 kali aku menulis surat yang sama, pada hari yang sama. Dan akhirnya aku selalu membakarnya tanpa mengirimnya padamu. Tak apa, aku hanya ingin menulisnya.
Surat ini, untuk matahariku...

Soerat tahoenan jang ke III
Untuk, matahari yang ku kenang selamanya..
Hari ini datang lagi, hari yang sama seperti 3 tahun yang lalu. Hari itu cerah, sangat cerah sampai sampai membuat mataku silau. Hari yang indah dengan matahari kuning mengintip di sebelah timur sisi bumi. Benar-benar hangat dan tenang. Namun, hujan datang menutupinya. Meredupkan matahariku, melunturkan kehangatan itu tepat di tengah hari. Saat aku benar-benar mulai merasakan kehangatan yang sesungguhnya. Dan semuanya lenyap...
Selama ini aku berusaha melupakanmu, orang yang mengukir kehangatan di hatiku, my first love, orang yang memberi arti kehampaan tersendiri dalam hidupku, orang yang selalu aku cintai dan orang yang telah meninggalkan hujan badai ini di hatiku, Lintang. Aku mencintaimu selalu, dan tak pernah berubah hingga saat ini, aku tetap mencintaimu. Meskipun kau jauh disana, meskipun kau tak pernah bisa ku gapai, aku tak akan pernah berhenti mengagumimu. Menantikan cahaya dihatiku bersinar kemabi, menunggu hujan badai ini reda, meski itu artinya selamanya.
25 Februari. Hari ini berkabut, kabut yang sama seperti di dalam hatiku. Masih sama, seperti saat terakhir kali kamu meninggalkannya. Sampai saat ini masih terasa gelap dan dingin. Seperti pagi ini, aku tak mendapatkan kehangatan mataharimu, Lintang.
Aku memikirkanmu, apa kamu menyadari hari ini? Aku rasa hari ini sedang meratap, seperti 3 tahun silam saat hujan menghapus matahari dari hidupku.Lintang, cahaya itu hilang, mungkin untuk selamanya. Dan bodohnya aku, aku masih tetap mencari kemana cahaya itu berlari. Cahaya itu terlalu jauh untuk bisa ku gapai. Seperti dirimu.
Selama ini aku berusaha membencimu dengan segala kemampuanku. Bahkan aku menanamkan bibit benci di dalam hati yang terus diguyur hujan ini. Berharap bisa kokoh dan suatu saat nanti aku dapat membencimu. Tapi, semuanya sia-sia. Tak ada yang bisa tumbuh tanpa matahari. Aku merasa bahwa aku benar-benar kehilanganmu, Lintang.
Aku tau kau memiliki seseorang yang sangat menyayangimu disana. Kau selalu menulisnya untuk mengungkapkannya, dan aku selalu membaca semua tulisan-tulisan yang kau buat. Entah mengapa, hal itu justru membuatku kecewa. Padahal, kau sudah bahagia disana. Bersama cinta baru yang kau terangi, dengan bibit-bibit baru yang sedang kau hangatkan. Tapi, tetap saja. Kedinginan hatiku selama ini terntata membuatnya tak dapat tersenyum lagi untuk kebahagiaanmu sekalipun.
Aku rasa, dia memang orang yang lebih beruntung dari pada aku, Lintang. Aku hanya sempat memilikimu sekejap. Namun meninggalkan bekas selamanya, bekas luka yang permanen. Yang tak akan pernah bisa sembuh oleh apaun. Dia yang memilikimu sekarang, bukan lagi aku. Tak akan pernah lagi. Sejujurnya, aku iri padanya Lintang. Aku iri pada mereka semua, yang hidpunya baik-baik saja, yang hidupnya bersama orang yang benar-benar mereka cintai.
Takdir benar, aku rasa matahari tak akan bisa bersatu dengan hujan selamanya. Dan kamu, adalah selamanya matahari yang ku cintai. Yang pernah menghangatkan hingga serpihan terkecil di hatiku. Dan telah pergi membiarkan hujan menyayat serpihan-serpihan itu.
Akhirnya, aku harus mengikhlaskanmu. Apapun yang terjadi, aku harus merelakanmu pergi. Biarkan serpihan sisa cinta ini tetap terguyur hujan, aku tak peduli. Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Sampai kapanpun..
Sampai jumpa tahun depan, Lintang. Semoga kamu bahagia disana...

Hujan yang mengharapkan matahari,

Aku tak peduli lagi dengan apa yang kurasakan atas dirimu. Aku hanya ingin tetap mencintaimu. Aku hanya ingin rasa ini tetap ada. Sampai rasa ini benar-benar mati, atau hilang oleh apapun yang menghentikannya. Dan sampai saat itu, aku akan terus menulis surat untuk mu. Setiap hari yang sama, setiap ketika aku masih bernafas dihari yang sama. Maka biarkan semua seperti ini saja. Biarkan aku tetap disini... Untuk tetap mencintai matahariku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS