Powered by Blogger.
RSS

Pages

Surat Untuk Matahariku


Surat untuk Matahariku
Dimas Yulian Ashari

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu pada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan pada hujan yang menjadikannya tiada.

Kita selalu menyukai puisi itu. Iya kan, Lintang?
Aku Ingin” karya Sapardi Djoko. Aku masih sangat menyukainya, aku belum menemukan puisi yang bisa mengalahkan kedalaman makna puisi itu, bagaimana denganmu?
Tak terasa sudah memasuki tahun keempat pasca aku putus dengan mu, Lintang Anggraini. Aku masih saja merasakan kesepian yang mendalam. Ini aneh, tapi aku sudah menyerah untuk membunuh rasa ini. Aku menyerah..
Hari ini, dihari yang sama, tiga tahun yang lalu. Kita adalah orang yang paling bahagia dengan adanya hari ini. Namun, kini semua terasa berbeda. Bahkan, kita tak pernah merasakan hari itu datang lagi. Karena kita sudah harus berpisah sebelum hari yang sama datang. Maafkan aku..
Entah kenapa, hari ini aku masih saja ingin menulis surat untukmu, untuk matahariku. Padahal sudah 2 kali aku menulis surat yang sama, pada hari yang sama. Dan akhirnya aku selalu membakarnya tanpa mengirimnya padamu. Tak apa, aku hanya ingin menulisnya.
Surat ini, untuk matahariku...

Soerat tahoenan jang ke III
Untuk, matahari yang ku kenang selamanya..
Hari ini datang lagi, hari yang sama seperti 3 tahun yang lalu. Hari itu cerah, sangat cerah sampai sampai membuat mataku silau. Hari yang indah dengan matahari kuning mengintip di sebelah timur sisi bumi. Benar-benar hangat dan tenang. Namun, hujan datang menutupinya. Meredupkan matahariku, melunturkan kehangatan itu tepat di tengah hari. Saat aku benar-benar mulai merasakan kehangatan yang sesungguhnya. Dan semuanya lenyap...
Selama ini aku berusaha melupakanmu, orang yang mengukir kehangatan di hatiku, my first love, orang yang memberi arti kehampaan tersendiri dalam hidupku, orang yang selalu aku cintai dan orang yang telah meninggalkan hujan badai ini di hatiku, Lintang. Aku mencintaimu selalu, dan tak pernah berubah hingga saat ini, aku tetap mencintaimu. Meskipun kau jauh disana, meskipun kau tak pernah bisa ku gapai, aku tak akan pernah berhenti mengagumimu. Menantikan cahaya dihatiku bersinar kemabi, menunggu hujan badai ini reda, meski itu artinya selamanya.
25 Februari. Hari ini berkabut, kabut yang sama seperti di dalam hatiku. Masih sama, seperti saat terakhir kali kamu meninggalkannya. Sampai saat ini masih terasa gelap dan dingin. Seperti pagi ini, aku tak mendapatkan kehangatan mataharimu, Lintang.
Aku memikirkanmu, apa kamu menyadari hari ini? Aku rasa hari ini sedang meratap, seperti 3 tahun silam saat hujan menghapus matahari dari hidupku.Lintang, cahaya itu hilang, mungkin untuk selamanya. Dan bodohnya aku, aku masih tetap mencari kemana cahaya itu berlari. Cahaya itu terlalu jauh untuk bisa ku gapai. Seperti dirimu.
Selama ini aku berusaha membencimu dengan segala kemampuanku. Bahkan aku menanamkan bibit benci di dalam hati yang terus diguyur hujan ini. Berharap bisa kokoh dan suatu saat nanti aku dapat membencimu. Tapi, semuanya sia-sia. Tak ada yang bisa tumbuh tanpa matahari. Aku merasa bahwa aku benar-benar kehilanganmu, Lintang.
Aku tau kau memiliki seseorang yang sangat menyayangimu disana. Kau selalu menulisnya untuk mengungkapkannya, dan aku selalu membaca semua tulisan-tulisan yang kau buat. Entah mengapa, hal itu justru membuatku kecewa. Padahal, kau sudah bahagia disana. Bersama cinta baru yang kau terangi, dengan bibit-bibit baru yang sedang kau hangatkan. Tapi, tetap saja. Kedinginan hatiku selama ini terntata membuatnya tak dapat tersenyum lagi untuk kebahagiaanmu sekalipun.
Aku rasa, dia memang orang yang lebih beruntung dari pada aku, Lintang. Aku hanya sempat memilikimu sekejap. Namun meninggalkan bekas selamanya, bekas luka yang permanen. Yang tak akan pernah bisa sembuh oleh apaun. Dia yang memilikimu sekarang, bukan lagi aku. Tak akan pernah lagi. Sejujurnya, aku iri padanya Lintang. Aku iri pada mereka semua, yang hidpunya baik-baik saja, yang hidupnya bersama orang yang benar-benar mereka cintai.
Takdir benar, aku rasa matahari tak akan bisa bersatu dengan hujan selamanya. Dan kamu, adalah selamanya matahari yang ku cintai. Yang pernah menghangatkan hingga serpihan terkecil di hatiku. Dan telah pergi membiarkan hujan menyayat serpihan-serpihan itu.
Akhirnya, aku harus mengikhlaskanmu. Apapun yang terjadi, aku harus merelakanmu pergi. Biarkan serpihan sisa cinta ini tetap terguyur hujan, aku tak peduli. Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Sampai kapanpun..
Sampai jumpa tahun depan, Lintang. Semoga kamu bahagia disana...

Hujan yang mengharapkan matahari,

Aku tak peduli lagi dengan apa yang kurasakan atas dirimu. Aku hanya ingin tetap mencintaimu. Aku hanya ingin rasa ini tetap ada. Sampai rasa ini benar-benar mati, atau hilang oleh apapun yang menghentikannya. Dan sampai saat itu, aku akan terus menulis surat untuk mu. Setiap hari yang sama, setiap ketika aku masih bernafas dihari yang sama. Maka biarkan semua seperti ini saja. Biarkan aku tetap disini... Untuk tetap mencintai matahariku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

8 comments:

Unknown said...

.sweeet abiiiz..

Dimas said...

makasih :)

Unknown said...

(ganggu ya) *tueewww
(^_^)v

Unknown said...

iyeehh, jadi rajin nulis nihh..
bagus tapi :D

Dimas said...

habibah ngapain ?

Dimas said...

tapi gak sebagus kamu no...
lagi pula cuma buat iseng-isengan aja kok

Unknown said...

pengen dech bisa ngungkapin apa yang ada di hati lewat tulisan..
tapi aku gak bisa..

Dimas said...

belum tau kan kalo belum dicoba??

Post a Comment