Mungkin aku
tak seberuntung mereka. Aku tidak dilahirkan dari keluarga kaya raya. Aku juga
tidak ditakdirkan untuk memiliki tubuh yang sempurna. Ya, inilah aku. Lahir
dari keluarga biasa, dan memang begini nyatanya. Aku cacat. Kedua kakiku tidak
dapat digerakkan layaknya anak-anak normal yang lain. Pasrah dan hanya pasrah,
mungkin itu jalan terakhir yang bisa kulakukan.
Lintang Putri Kirana, mungkin ituadalah nama yang terlalu indah untuk
orang cacat sepertiku. Dan itu adalah satu-satunya yang sempurna dari diriku.
Lintang adalah panggilan dari orang tuaku kepadaku. Namun di luar itu, aku
harus terbiasa dengan panggilan “cacat”.
Tersimpan
pesan yang baik dari kedua orang tuaku dalam namaku yang indah. Mungkin orang
tuaku berharap aku menjadi lintang di
tengah malam gelap. Entahlah, aku hanya berharap orang tuaku tidak mengutukku
karena punya anak cacat sepertiku.
Aku terlahir di tengah-tengah
keluarga yang sangat sederhana, yang bertahan hidup dari hasil menjajakan sate ayam.
Dan aku sungguh beruntung memiliki orang tua seperti mereka. Ditengah kehidupan
mereka yang sulit, mereka masih menyisihkan uang untuk membelikanku kursi roda.
Sehingga aku tidak kesulitan untuk sekedar berpindah tempat.
Sehari-hari, aku sangat jarang keluar rumah untuk bermain. Bukan hanya
karena aku tidak punya teman, namun juga karena aku malu. Aku malu jika harus
bergaul dengan teman sebayaku yang sempurna. Aku lebih banyak menghabiskan
waktuku untuk membantu orang tuaku menyiapkan sate. Atau setidaknya, aku
membuang waktu untuk mengurung diri di dalam kamar.Penderitaanku semakin
bertambah ketika aku memasuki bangku sekolah. Semakin banyak orang yang mencela
dan menjauhiku. Aku hanya memiliki sedikit teman yang dapat kupercaya.
Begitulah keadaanku.
Dan kini, aku menginjak bangku SMA. Aku hanya memiliki 2 orang teman yang
ku percaya dan sangat setia mendampingiku. Mereka adalah Mawar dan Mentari.
Mereka selalu melindungiku dari orang-orang yang selalu mencela dan
mencemoohku. Aku sudah menganggap mereka saudaraku. Bahkan, mungkin lebih dari
itu. Maafkan aku teman. Seandainya aku tidak cacat, aku tidak akan merepotkan
kalian. Dan terimakasih karena telah melindungiku selama ini.
Di sekolah, aku memiliki seseorang yang spesial. Namun entah apakah ia
juga berfikiran sama denganku atau tidak. Ahh,namun aku tidak terlalu berharap
mengingat bagaimana keadaanku yang seperti ini. Lagi pula,dia sudah bagaikan cassanova di sekolahku. Hampir semua
siswi di sini menaruh hati padanya, dan berharap memilikinya bagaikan pungguk
merindukan rembulan. Mungkinbenar kata orang tuaku, aku tidakseharusnya
memikirkan cinta, aku harus fokus untuk belajar agar bisa sukses suatu saat
nanti. Selain karna aku satu-satunya harapan orang tuaku, aku juga ingin
membuktikan kepada orang-orang yang mencela, mencemooh, dan mengucilkanku
selama ini, bahwa kecacatan bukanlah suatu faktor yang membuat seseorang tidak
bisa sukses.
Kamis, 23 Maret 2000. Ya, benar. Hari ini adalah hari ulang tahun ku. Dan
tak pernah kusangka bahwa sang cassanova
menghampiriku dan mengatakan bahwa ia ingin menjadikan ku sebagai orang yang
spesial baginya. Aku sungguh terkejut dan tak menyangka. Untuk beberapa saat
aku menjadi bisu dan memasuki dunia khayalku. Seakan aku terhipnotis oleh
kata-kata dari mulut manisnya. Namun baru kusadari semua itu bohong, setelah
beberapa gram tepung dan beberapa telur menerpa wajah dan tubuhku. Sang cassanova pun tertawa bersama anak-anak lain
yang melempariku tepung dan telur. Sejak saat itu, aku sangat membencinya. Dan
aku menutup hatiku rapat-rapat tanpa celah sedikitpun.
Sungguh aku tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada gadis polos
sepertiku. Tapi sudahlah, aku tak pernah menyesal. Ini adalah takdir dari-Nya.
Aku percaya inilah yang terbaik untukku. Selalu ku sebut dalam sujudku, selalu
ku panjatkan dalam doa’aku, dan selalu ku tanyakan dalam tahajudku, “Mengapa
dunia begitu tak adil pada orang cacat sepertiku ?”
Sungguh begitu dalam kekecewaanku dan begitu aku terluka karena kejadian
saat itu. Mungkin untuk orang sepertiku, hari ulang tahun adalah hari tersial
dimana aku harus di lahirkan dalam keadaan “cacat”. Namun prinsip seperti itu
tak pernah sedikitpun terfikir oleh otak kecilku. Aku cukup bersyukur karena diizinkan
oleh Allah SWT untuk setidaknya menghirup udara-Nya. Aku tak pernah sedikitpun
merasa marah kepada orang tuaku ataupun kepada Allah. Aku justru berterimakasih
karena tanpa semua itu, aku tidak akan ada. Aku tidak boleh menjadi gadis yang
lemah dan cengeng. Aku harus kuat, aku adalah Lintang yang kuat.
Tak terasa hanya tinggal beberapa bulan
lagi akan dilangsungkan ujian nasional. Aku adalah anak IPA, dan aku ada di
kelas unggulan tertinggi bersama Mawar dan Mentari. Aku bersyukur kepada Allah
karena dibalik kekuranganku ini, aku masih diberikan kelebihan berupa
kepandaian yang di atas rata-rata. Aku selalu berterimakasih kepada Allah dalam
setiap tahajudku karena aku selalu masuk 10 besar ranking pararel di sekolahku.
Aku selalu berdo’a agar dapat melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi tanpa
harus menjadi beban kedua orang tuaku. Semoga saja Allah memberi jalan. Amiin.
Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Lagi-lagi harus terungkit
pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya, “mengapa dunia begitu tidak adil
pada orang cacat sepertiku ?”. Beberapa minggu menjelang ujian nasional
diselenggarakan, aku justru harus terpukul dan terpuruk karena kematian ibuku
yang memang beberapa bulan terakhir sakit-sakitan. “Ya Allah, mengapa begitu
berat beban yang harus ku tanggung ?”
Aku menangis, begitu dalamnya sampai-sampai aku harus mengganti bajuku
beberapa kali karena basah terkena air mataku. Biasanya yang menenagkanku di
saat seperti ini adalah ibu, namun Allah telah memanggilnya untuk menghadap. Di
saat aku menangis dan terjatuh, ibulah yang selalu ada. Di saat aku jatuh
tersungkur, di saat aku tak mampu bangkit, di saat aku meratap dan tak mampu
melakukan apapun, ibulah yang selalu menyemangatiku. Ibu adalah yang pertama
mendengar cerita-ceritaku. Ibu juga yang pertama menghapus air mataku. Ibulah
yang pertama menyayangiku dengan keadaan ku yang tak sempurna. Namun, sekarang aku
harus kehilangannya.
Seakan hidupku sudah tak berarti
lagi tanpa sosok seorang ibu disisiku. Ya Allah, seandainya aku bisa, aku ingin
memberikan separuh usiaku untuk ibu. Agar aku bisa lebih lama bersamanya, agar
aku bisa lebih lama menyentuhnya. Ibu, jika kau mendengar aku di sana, aku
ingin menyampaikan padamu bahwa aku menyayangimu lebih dari hidupku.
Aku tidak bisa berkonsentrasi belajar, aku tidak nafsu makan, aku tidak
bisa tidur, aku merindukan ibu. Semoga Allah emnjaga ibu di surga. Amiin.
Beberapa hari lagi ujian nasional. Tapi aku masih belum bisa bangkit, aku
masih terpukul karena kehilangan bidadari hidupku, ibuku. Sampai suatu malam,
sesudah menunaikan sholat tahajud, aku tertidur diatas sajdah yang biasa
digunakan ibu untuk bersujud menghadap-Nya. Aku bermimpi bertemu dengan ibu,
namun mimpi itu begitu nyata. Dan di saat aku terjaga, aku masih bisa merasakan
hangat pelukan ibu untukku. Aku masih ingat, ibu berpesan kepadaku dalam mimpi
indah itu, “Nak, ibu baik-baik saja disini. Jangan khawatir. Lanjutkan hidupmu
dan jadilah yang terbaik untuk ibu. Ibu bangga padamu”. Begitu jelas terdengar
dalam mimpiku. Ibu, aku berjanji akan menjadi yang terbaik.
Dan sekarang, aku sudah bangkit dan melanjutkan hidupku. Aku percaya
bahwa ibu selalu mendukungku dari surga, dan aku percaya bahwa Allah selalu
menjaga ibu disana. Jadi, aku tidak perlu khawatir lagi. Mungkin saat ini aku
harus berpisah dengan ibu, namun aku yakin itu hanya sesaat, karna kami semua
akan berkumpul di surga.
Hari-hari ini
aku belajar dengan sungguh-sungguh. Aku ingin manjadi yang terbaik dan
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dengan beasiswa agar tidak membebani
ayah. Trimakasih ibu untuk semua hal yang kau ajarkan selama ini. Aku mohon
izin kepadamu, besok aku akan manjalani ujian nasional.
Dag dig dug, hatiku sangat
berdebar-debar menerima lembar soal ujian. Sebelum aku mulai mengerjakan, aku
berdo’a kepada Sang Maha Kuasa untuk menjaga ibu dan semoga aku bisa menjadi
yang terbaik. Amiin.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat, dan hari ini adalah hari
pengumunan kelulusan. Pengumuman di tempel di papan penumuman di lobi, dan
praktis para siswa memenuhi seisi lobi. Sedangkan aku, Mawar, dan Mentari
menunggu di belakang. Karena sangat tidak mungkin aku ikut berdesakan bersama
yang lain dengan kakiku yang cacat. Dalam hati aku takut, bukan takut tidak
lulus, namun aku takut jika harus berpisah dengan kedua teman baikku. “Apakah
aku bisa mendapat teman sebaik mereka di perguruan tinggi?”, tanyaku dalam
hati.
Tak terasa air mataku menetes. Mawar pun bertanya padaku, “Lintang,
kenapa kamu nangis? Udah dong.. Aku yakin kamu pasti lulus kok.. Kamu kan
pinter, kamu pasti yang tertinggi deh..”. “Iya lintang aku yakin kamu pasti
bisa jadi yang terbaik.” tambah Mentari. Aku hanya terdiam, dan untuk beberapa
saat mereka juga terdiam melihat aku menangis. Lalu aku berkata pada mereka,
“Teman.. Aku bukan takut tidak lulus ataupun tidak bisa menjadi yang tertinggi,
tapi aku takut, aku takut jika harus berpisah dengan kalian. Aku takut karena
setelah ini harus menghadapi semua sendiri tanpa kalian”. Mereka memelukku erat
untuk beberapa saat. Dan setelah mulut lobi mulai ditinggalkan para siswa untuk
berpesta ria, kami pun maju untuk melihat hasil pengumunan. Alhamdulillah aku
yang tertinggi, sedangkan Mawar dapat urutan ke-11 dan Mentari dapat urutan
ke-23. Kami sangat bersyukur dengan hasil yang kami dapat. Dan yang mengejutkan
adalah sang cassanovayang harus lulus di urutan paling bawah. Aku tidak
melihatnya dari tadi, mungkin dia langsung pulang karena malu.
Kami sudah memutuskan untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi masing-masing. Mawar mengambil jurusan
akutansi, Mentari mengambil jurusan kesehatan, sedangkan aku sendiri mengambil
jurusan ekonomi. Aku berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah perguruan tinggi
di bidang ekonomi. Aku ingin menjadi pebisnis yang hebat dan aku ingin membuktikan
kepada orang-orang yang selama ini mencelaku, bahwa aku juga bisa sukses.
Separuh jalan sudah ku tempuh, namun aku lagi-lagi dihantui ketakutan untuk
bergaul karena aku cacat.
Aku tidak kenal siapa-siapa di kampus, aku merasa sendirian. Ya Allah, berikan
aku orang yang dapat menjagaku seperti sahabat-sahabatku sebelumnya. Amiin.
Seminggu di kampus tanpa adanya teman sungguh membuat aku merasa sendirian dan
kesepian. Hatiku masih tertinggal bersama Mawar dan Mentari. Aku masih
membutuhkan mereka jauh lebih dari yang mereka tahu.
Beberapa hari kemudian, aku berkenalan dengan seorang anak pengusaha
bernama Indah. Dia baik dan kelihatannya dia tidak malu untuk berteman
denganku. Aku dan Indah akhirnya menjadi teman yang akrab dan kami melewati
semua rintangan yang menghadang. Kami saling melengkapi satu sama lain. Dan aku
sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia.
Namun, dibalik itu semua, masih saja ada orang-orang yang mencela dan
mencemooh ku. Sakit rasanya, rasa ini tak pernah hilang. Rasa yang sama saat
ibu meninggal. Namun, bukankah dari dulu aku sudah biasa dikucilkan dan diolok?
Bukankah dunia memang tidak pernah adil kepada orang cacat sepertiku?
Semester 2, aku seakan terdiam saat
hujan gerimis tiba. Bagaimana aku melihat seorang malaikat berdiri di
hadapanku. Dia benar-benar baik hati. Dia mendorong kursi rodaku ke tepi,
sehingga aku tidak basah akan air hujan. Melainkan aku telah basah akan
ketulusan yang sedah lama tak aku dapat sejak ibu meninggal. Ya, namanya adalah
Angga. Dia anak managemen. Kami
berkenalan dan pada akhirnya kami menjadi teman.
Suatu hari, aku, Angga, dan Indah sedang membicarakan masalah
perekonomian di indonesia. Dengan tiba-tiba sekelompok orang dari jauh
menyorakkan “Sekali cacat ya tetep cacat, mana ada cowo’ waras yang mau sama
orang cacat. Yang ada ya cowo’ yang setengah-setengah. Kayak si Angga tuh...
Iya nggak bro?, Hahaha”Angga langsung berdiri karena tersinggung dengan ucapan
itu. Namun, aku dan Indah berhasil menenangkannya. Orang-orang itu adalah geng
di kampus ini, memang mereka sering mengganggu dan suka membuat keributan. Ya,
memang benar sih kata mereka, mana ada cowo’ yang mau sama orang cacat kayak
aku. Aku sadari itu. Dan Angga, mungkin dia dekat denganku hanya karna kasian
melihat aku yang lemah tak berdaya ini. Hmm... Entahlah, aku juga tak pernah
tahu apa isi hati Angga sebenarnya.
Banyak hal yang telah ku dapatkan
disini. Aku belajar banyak dari Angga dan Indah. Terimakasih teman. Sungguh
waktu tidak adil, sekarang adalah semester terakhir untukku, dimana itu berarti
tahun terakhirku bersama Angga, orang yang ternyata diam-diam membuka kembali
pintu hatiku yang sudah kututup rapat. Aku hanya diam walaupun aku suka pada
Angga, kalian tahu sendiri kan, itu karena aku cacat. Lagi pula seorang wanita
itu pintar menyimpan perasaannya kepada orang lain. Dan selama ini aku berhasil
menyembunyikannya dari siapapun. Ibu, andai ibu masih ada, pasti ibu yang
menjadi orang pertama yang mendengarkan ceritaku.
Tak disangka, suatu hari yang mendung dimana aku dan Angga berangkat ke
kampus bersama dia menyampaikan perasaannya padaku. Dia mendorong kursi rodaku
ke kampus yang kebetulan tidak jauh dari tempat aku tinggal. Aku hanya diam
saja dan tidak menjawab sama sekali. Kami jadi canggung sampai di sekolah. Aku tidak
berani menjawab “iya” karena aku takut dia tidak nyaman dengan keadaanku saat
ini.Hingga lulus aku tidak pernah membahas hal itu. Aku hanya berkata “Maaf,
aku tidak bisa. Tapi kita tetap bisa bersahabat kan ?”. Itu adalah kata
terakhir yang kuucapkan dapa Angga setelah wisuda.
Beberapa tahun setelah kelulusan, aku memutuskan untuk melakukan operasi
pada kakiku agar bisa berjalan layaknya wanita normal lainnya. Sahabat-sahabatku
datang untuk menemaniku. Mawar yang kini telah menjadi pegawai pajak, Mentari
yang sudah sukses jadi dokter spesialis anak, Indah yang sudah bekerja di salah
satu perusahaan ternama pun juga datang. Namun aku tidak melihat sosok Angga,
yang mungkin tidak datang untuk setidaknya melihat keadaanku.Ini berat bagiku,
jika operasi ini gagal, maka aku dipastikan tidak bisa berjalan selamanya.
Namun jika opersai ini berhasil, maka aku akan bisa berjalan layaknya
sahabat-sahabatku yang lain. Malam hari sebelum operasi, aku menunaikan sholat
tahajud untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT. Sungguh, hanya Allah lah
harapan terakhirku.
Hatiku goyah, perasaan pesimis
muncul. “Bagaimana jika operasinya gagal?”, jeritku dalam hati. Sungguh aku tak
sanggup menerima kenyataan jika sampai operasi ini gagal. Namun, dibalik semua
itu, sahabat-sahabatku dan juga ayahku mendukung dan mendo’akanku. Dan aku
yakin Angga di suatu tempat yang jauh disana juga melakukan hal yang sama. Ya
Allah, Mohon keselamatan untukku dan Ibu disana.
Empat jam di dalam ruang operasi, dan aku berharap banyak pada kesempatan
terakhirku ini. Aku sangat mengharap mu’jizat dari Allah SWT. Saat aku keluar,
semua orang menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Dan masih tidak kujumpai
sosok Angga di sekitarku. Ya, tentu saja. Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya
dan tak ada waktu untuk sekedar menengokku. Dan benar, Indah baru saja menerima
pesan dari Angga bahwa dia tidak bisa datang karena urusan pekerjaan. Dan dia
juga berpesan akan menengokku beberapa harilagi. Walau aku terlihat lebih baik,
namun dokter belum mengizinkanku berjalan untuk beberapa hari ke depan.
Aku sangat bahagia karena di saat aku berusaha untuk berjalan dan
membutuhkan sosok seorang pelindung, Angga ada disampingku untuk menemani dan
menjagaku. Memang, awalnya sungguh sulit dan sakit, aku sempat berfikir bahwa
operasi ini gagal. Namun Angga memberiku semangat dan memotivasiku bahwa aku
pasti bisa. Dan tak berlangsung lama, aku bisa berjalan berkat bantuan dan suport dari Angga. Sungguh, aku
bersyukur atas mu’jizat Allah. Dia menggantikan bidadariku dengan seorang
malaikat hatiku.
Sejak saat
itu, aku dan Angga menjadi sepasang kekasih dan mampu mempertahankan cinta kami
hingga kini.
Semua itu adalah perjalanan hidupku
10 tahun yang. Kini, aku sudah sukses. Aku bekerja untuk sebuah perusahaan
ternama. Akhirnya akudijodohkan oleh Allah dan menikah dengan Angga. Aku
bahagia karena dibalik ketidaksempurnaanku, aku memiliki kehidupan yang jauh
lebih sempurna dari siapapun.
Ibu, sekarang
aku sudah sukses, aku sudah berhasil. Aku harap ibu bisa bangga denganku
disana. Aku berjanji akan menjadi istri dan ibu yang baik. Seperti ibu dulu
yang menjadi ibu yang terbaik untukku. Terimakasih ibu, terimakasih ya Allah
atas semua kesempurnaan yang Engaku anugerahkan padaku.
-Sekian-
2 comments:
menangis T_T
Mohon kritik dan saran demi kebaikan penulis :-)
Post a Comment