Powered by Blogger.
RSS

Pages

Lintang

Mungkin aku tak seberuntung mereka. Aku tidak dilahirkan dari keluarga kaya raya. Aku juga tidak ditakdirkan untuk memiliki tubuh yang sempurna. Ya, inilah aku. Lahir dari keluarga biasa, dan memang begini nyatanya. Aku cacat. Kedua kakiku tidak dapat digerakkan layaknya anak-anak normal yang lain. Pasrah dan hanya pasrah, mungkin itu jalan terakhir yang bisa kulakukan. 
Lintang Putri Kirana, mungkin ituadalah nama yang terlalu indah untuk orang cacat sepertiku. Dan itu adalah satu-satunya yang sempurna dari diriku. Lintang adalah panggilan dari orang tuaku kepadaku. Namun di luar itu, aku harus terbiasa dengan panggilan “cacat”.
Tersimpan pesan yang baik dari kedua orang tuaku dalam namaku yang indah. Mungkin orang tuaku berharap aku menjadi lintang di tengah malam gelap. Entahlah, aku hanya berharap orang tuaku tidak mengutukku karena punya anak cacat sepertiku.
Aku terlahir di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana, yang bertahan hidup dari hasil menjajakan sate ayam. Dan aku sungguh beruntung memiliki orang tua seperti mereka. Ditengah kehidupan mereka yang sulit, mereka masih menyisihkan uang untuk membelikanku kursi roda. Sehingga aku tidak kesulitan untuk sekedar berpindah tempat.
Sehari-hari, aku sangat jarang keluar rumah untuk bermain. Bukan hanya karena aku tidak punya teman, namun juga karena aku malu. Aku malu jika harus bergaul dengan teman sebayaku yang sempurna. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk membantu orang tuaku menyiapkan sate. Atau setidaknya, aku membuang waktu untuk mengurung diri di dalam kamar.Penderitaanku semakin bertambah ketika aku memasuki bangku sekolah. Semakin banyak orang yang mencela dan menjauhiku. Aku hanya memiliki sedikit teman yang dapat kupercaya. Begitulah keadaanku.
 Dan kini, aku menginjak bangku SMA. Aku hanya memiliki 2 orang teman yang ku percaya dan sangat setia mendampingiku. Mereka adalah Mawar dan Mentari. Mereka selalu melindungiku dari orang-orang yang selalu mencela dan mencemoohku. Aku sudah menganggap mereka saudaraku. Bahkan, mungkin lebih dari itu. Maafkan aku teman. Seandainya aku tidak cacat, aku tidak akan merepotkan kalian. Dan terimakasih karena telah melindungiku selama ini.
Di sekolah, aku memiliki seseorang yang spesial. Namun entah apakah ia juga berfikiran sama denganku atau tidak. Ahh,namun aku tidak terlalu berharap mengingat bagaimana keadaanku yang seperti ini. Lagi pula,dia sudah bagaikan cassanova di sekolahku. Hampir semua siswi di sini menaruh hati padanya, dan berharap memilikinya bagaikan pungguk merindukan rembulan. Mungkinbenar kata orang tuaku, aku tidakseharusnya memikirkan cinta, aku harus fokus untuk belajar agar bisa sukses suatu saat nanti. Selain karna aku satu-satunya harapan orang tuaku, aku juga ingin membuktikan kepada orang-orang yang mencela, mencemooh, dan mengucilkanku selama ini, bahwa kecacatan bukanlah suatu faktor yang membuat seseorang tidak bisa sukses.
Kamis, 23 Maret 2000. Ya, benar. Hari ini adalah hari ulang tahun ku. Dan tak pernah kusangka bahwa sang cassanova menghampiriku dan mengatakan bahwa ia ingin menjadikan ku sebagai orang yang spesial baginya. Aku sungguh terkejut dan tak menyangka. Untuk beberapa saat aku menjadi bisu dan memasuki dunia khayalku. Seakan aku terhipnotis oleh kata-kata dari mulut manisnya. Namun baru kusadari semua itu bohong, setelah beberapa gram tepung dan beberapa telur menerpa wajah dan tubuhku. Sang cassanova pun tertawa bersama anak-anak lain yang melempariku tepung dan telur. Sejak saat itu, aku sangat membencinya. Dan aku menutup hatiku rapat-rapat tanpa celah sedikitpun.
Sungguh aku tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada gadis polos sepertiku. Tapi sudahlah, aku tak pernah menyesal. Ini adalah takdir dari-Nya. Aku percaya inilah yang terbaik untukku. Selalu ku sebut dalam sujudku, selalu ku panjatkan dalam doa’aku, dan selalu ku tanyakan dalam tahajudku, “Mengapa dunia begitu tak adil pada orang cacat sepertiku ?”
Sungguh begitu dalam kekecewaanku dan begitu aku terluka karena kejadian saat itu. Mungkin untuk orang sepertiku, hari ulang tahun adalah hari tersial dimana aku harus di lahirkan dalam keadaan “cacat”. Namun prinsip seperti itu tak pernah sedikitpun terfikir oleh otak kecilku. Aku cukup bersyukur karena diizinkan oleh Allah SWT untuk setidaknya menghirup udara-Nya. Aku tak pernah sedikitpun merasa marah kepada orang tuaku ataupun kepada Allah. Aku justru berterimakasih karena tanpa semua itu, aku tidak akan ada. Aku tidak boleh menjadi gadis yang lemah dan cengeng. Aku harus kuat, aku adalah Lintang yang kuat.
            Tak terasa hanya tinggal beberapa bulan lagi akan dilangsungkan ujian nasional. Aku adalah anak IPA, dan aku ada di kelas unggulan tertinggi bersama Mawar dan Mentari. Aku bersyukur kepada Allah karena dibalik kekuranganku ini, aku masih diberikan kelebihan berupa kepandaian yang di atas rata-rata. Aku selalu berterimakasih kepada Allah dalam setiap tahajudku karena aku selalu masuk 10 besar ranking pararel di sekolahku. Aku selalu berdo’a agar dapat melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi tanpa harus menjadi beban kedua orang tuaku. Semoga saja Allah memberi jalan. Amiin.
Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Lagi-lagi harus terungkit pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya, “mengapa dunia begitu tidak adil pada orang cacat sepertiku ?”. Beberapa minggu menjelang ujian nasional diselenggarakan, aku justru harus terpukul dan terpuruk karena kematian ibuku yang memang beberapa bulan terakhir sakit-sakitan. “Ya Allah, mengapa begitu berat beban yang harus ku tanggung ?”
Aku menangis, begitu dalamnya sampai-sampai aku harus mengganti bajuku beberapa kali karena basah terkena air mataku. Biasanya yang menenagkanku di saat seperti ini adalah ibu, namun Allah telah memanggilnya untuk menghadap. Di saat aku menangis dan terjatuh, ibulah yang selalu ada. Di saat aku jatuh tersungkur, di saat aku tak mampu bangkit, di saat aku meratap dan tak mampu melakukan apapun, ibulah yang selalu menyemangatiku. Ibu adalah yang pertama mendengar cerita-ceritaku. Ibu juga yang pertama menghapus air mataku. Ibulah yang pertama menyayangiku dengan keadaan ku yang tak sempurna. Namun, sekarang aku harus kehilangannya.
            Seakan hidupku sudah tak berarti lagi tanpa sosok seorang ibu disisiku. Ya Allah, seandainya aku bisa, aku ingin memberikan separuh usiaku untuk ibu. Agar aku bisa lebih lama bersamanya, agar aku bisa lebih lama menyentuhnya. Ibu, jika kau mendengar aku di sana, aku ingin menyampaikan padamu bahwa aku menyayangimu lebih dari hidupku.
Aku tidak bisa berkonsentrasi belajar, aku tidak nafsu makan, aku tidak bisa tidur, aku merindukan ibu. Semoga Allah emnjaga ibu di surga. Amiin.
Beberapa hari lagi ujian nasional. Tapi aku masih belum bisa bangkit, aku masih terpukul karena kehilangan bidadari hidupku, ibuku. Sampai suatu malam, sesudah menunaikan sholat tahajud, aku tertidur diatas sajdah yang biasa digunakan ibu untuk bersujud menghadap-Nya. Aku bermimpi bertemu dengan ibu, namun mimpi itu begitu nyata. Dan di saat aku terjaga, aku masih bisa merasakan hangat pelukan ibu untukku. Aku masih ingat, ibu berpesan kepadaku dalam mimpi indah itu, “Nak, ibu baik-baik saja disini. Jangan khawatir. Lanjutkan hidupmu dan jadilah yang terbaik untuk ibu. Ibu bangga padamu”. Begitu jelas terdengar dalam mimpiku. Ibu, aku berjanji akan menjadi yang terbaik.
Dan sekarang, aku sudah bangkit dan melanjutkan hidupku. Aku percaya bahwa ibu selalu mendukungku dari surga, dan aku percaya bahwa Allah selalu menjaga ibu disana. Jadi, aku tidak perlu khawatir lagi. Mungkin saat ini aku harus berpisah dengan ibu, namun aku yakin itu hanya sesaat, karna kami semua akan berkumpul di surga.
Hari-hari ini aku belajar dengan sungguh-sungguh. Aku ingin manjadi yang terbaik dan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dengan beasiswa agar tidak membebani ayah. Trimakasih ibu untuk semua hal yang kau ajarkan selama ini. Aku mohon izin kepadamu, besok aku akan manjalani ujian nasional.
            Dag dig dug, hatiku sangat berdebar-debar menerima lembar soal ujian. Sebelum aku mulai mengerjakan, aku berdo’a kepada Sang Maha Kuasa untuk menjaga ibu dan semoga aku bisa menjadi yang terbaik. Amiin.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat, dan hari ini adalah hari pengumunan kelulusan. Pengumuman di tempel di papan penumuman di lobi, dan praktis para siswa memenuhi seisi lobi. Sedangkan aku, Mawar, dan Mentari menunggu di belakang. Karena sangat tidak mungkin aku ikut berdesakan bersama yang lain dengan kakiku yang cacat. Dalam hati aku takut, bukan takut tidak lulus, namun aku takut jika harus berpisah dengan kedua teman baikku. “Apakah aku bisa mendapat teman sebaik mereka di perguruan tinggi?”, tanyaku dalam hati.
Tak terasa air mataku menetes. Mawar pun bertanya padaku, “Lintang, kenapa kamu nangis? Udah dong.. Aku yakin kamu pasti lulus kok.. Kamu kan pinter, kamu pasti yang tertinggi deh..”. “Iya lintang aku yakin kamu pasti bisa jadi yang terbaik.” tambah Mentari. Aku hanya terdiam, dan untuk beberapa saat mereka juga terdiam melihat aku menangis. Lalu aku berkata pada mereka, “Teman.. Aku bukan takut tidak lulus ataupun tidak bisa menjadi yang tertinggi, tapi aku takut, aku takut jika harus berpisah dengan kalian. Aku takut karena setelah ini harus menghadapi semua sendiri tanpa kalian”. Mereka memelukku erat untuk beberapa saat. Dan setelah mulut lobi mulai ditinggalkan para siswa untuk berpesta ria, kami pun maju untuk melihat hasil pengumunan. Alhamdulillah aku yang tertinggi, sedangkan Mawar dapat urutan ke-11 dan Mentari dapat urutan ke-23. Kami sangat bersyukur dengan hasil yang kami dapat. Dan yang mengejutkan adalah sang cassanovayang harus lulus di urutan paling bawah. Aku tidak melihatnya dari tadi, mungkin dia langsung pulang karena malu.
            Kami sudah memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi masing-masing. Mawar mengambil jurusan akutansi, Mentari mengambil jurusan kesehatan, sedangkan aku sendiri mengambil jurusan ekonomi. Aku berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah perguruan tinggi di bidang ekonomi. Aku ingin menjadi pebisnis yang hebat dan aku ingin membuktikan kepada orang-orang yang selama ini mencelaku, bahwa aku juga bisa sukses. Separuh jalan sudah ku tempuh, namun aku lagi-lagi dihantui ketakutan untuk bergaul karena aku cacat.
Aku tidak kenal siapa-siapa di kampus, aku merasa sendirian. Ya Allah, berikan aku orang yang dapat menjagaku seperti sahabat-sahabatku sebelumnya. Amiin. Seminggu di kampus tanpa adanya teman sungguh membuat aku merasa sendirian dan kesepian. Hatiku masih tertinggal bersama Mawar dan Mentari. Aku masih membutuhkan mereka jauh lebih dari yang mereka tahu.
Beberapa hari kemudian, aku berkenalan dengan seorang anak pengusaha bernama Indah. Dia baik dan kelihatannya dia tidak malu untuk berteman denganku. Aku dan Indah akhirnya menjadi teman yang akrab dan kami melewati semua rintangan yang menghadang. Kami saling melengkapi satu sama lain. Dan aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia.
Namun, dibalik itu semua, masih saja ada orang-orang yang mencela dan mencemooh ku. Sakit rasanya, rasa ini tak pernah hilang. Rasa yang sama saat ibu meninggal. Namun, bukankah dari dulu aku sudah biasa dikucilkan dan diolok? Bukankah dunia memang tidak pernah adil kepada orang cacat sepertiku?
            Semester 2, aku seakan terdiam saat hujan gerimis tiba. Bagaimana aku melihat seorang malaikat berdiri di hadapanku. Dia benar-benar baik hati. Dia mendorong kursi rodaku ke tepi, sehingga aku tidak basah akan air hujan. Melainkan aku telah basah akan ketulusan yang sedah lama tak aku dapat sejak ibu meninggal. Ya, namanya adalah Angga. Dia anak managemen. Kami berkenalan dan pada akhirnya kami menjadi teman.
Suatu hari, aku, Angga, dan Indah sedang membicarakan masalah perekonomian di indonesia. Dengan tiba-tiba sekelompok orang dari jauh menyorakkan “Sekali cacat ya tetep cacat, mana ada cowo’ waras yang mau sama orang cacat. Yang ada ya cowo’ yang setengah-setengah. Kayak si Angga tuh... Iya nggak bro?, Hahaha”Angga langsung berdiri karena tersinggung dengan ucapan itu. Namun, aku dan Indah berhasil menenangkannya. Orang-orang itu adalah geng di kampus ini, memang mereka sering mengganggu dan suka membuat keributan. Ya, memang benar sih kata mereka, mana ada cowo’ yang mau sama orang cacat kayak aku. Aku sadari itu. Dan Angga, mungkin dia dekat denganku hanya karna kasian melihat aku yang lemah tak berdaya ini. Hmm... Entahlah, aku juga tak pernah tahu apa isi hati Angga sebenarnya.
            Banyak hal yang telah ku dapatkan disini. Aku belajar banyak dari Angga dan Indah. Terimakasih teman. Sungguh waktu tidak adil, sekarang adalah semester terakhir untukku, dimana itu berarti tahun terakhirku bersama Angga, orang yang ternyata diam-diam membuka kembali pintu hatiku yang sudah kututup rapat. Aku hanya diam walaupun aku suka pada Angga, kalian tahu sendiri kan, itu karena aku cacat. Lagi pula seorang wanita itu pintar menyimpan perasaannya kepada orang lain. Dan selama ini aku berhasil menyembunyikannya dari siapapun. Ibu, andai ibu masih ada, pasti ibu yang menjadi orang pertama yang mendengarkan ceritaku.
Tak disangka, suatu hari yang mendung dimana aku dan Angga berangkat ke kampus bersama dia menyampaikan perasaannya padaku. Dia mendorong kursi rodaku ke kampus yang kebetulan tidak jauh dari tempat aku tinggal. Aku hanya diam saja dan tidak menjawab sama sekali. Kami jadi canggung sampai di sekolah. Aku tidak berani menjawab “iya” karena aku takut dia tidak nyaman dengan keadaanku saat ini.Hingga lulus aku tidak pernah membahas hal itu. Aku hanya berkata “Maaf, aku tidak bisa. Tapi kita tetap bisa bersahabat kan ?”. Itu adalah kata terakhir yang kuucapkan dapa Angga setelah wisuda.
Beberapa tahun setelah kelulusan, aku memutuskan untuk melakukan operasi pada kakiku agar bisa berjalan layaknya wanita normal lainnya. Sahabat-sahabatku datang untuk menemaniku. Mawar yang kini telah menjadi pegawai pajak, Mentari yang sudah sukses jadi dokter spesialis anak, Indah yang sudah bekerja di salah satu perusahaan ternama pun juga datang. Namun aku tidak melihat sosok Angga, yang mungkin tidak datang untuk setidaknya melihat keadaanku.Ini berat bagiku, jika operasi ini gagal, maka aku dipastikan tidak bisa berjalan selamanya. Namun jika opersai ini berhasil, maka aku akan bisa berjalan layaknya sahabat-sahabatku yang lain. Malam hari sebelum operasi, aku menunaikan sholat tahajud untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT. Sungguh, hanya Allah lah harapan terakhirku.
            Hatiku goyah, perasaan pesimis muncul. “Bagaimana jika operasinya gagal?”, jeritku dalam hati. Sungguh aku tak sanggup menerima kenyataan jika sampai operasi ini gagal. Namun, dibalik semua itu, sahabat-sahabatku dan juga ayahku mendukung dan mendo’akanku. Dan aku yakin Angga di suatu tempat yang jauh disana juga melakukan hal yang sama. Ya Allah, Mohon keselamatan untukku dan Ibu disana.
Empat jam di dalam ruang operasi, dan aku berharap banyak pada kesempatan terakhirku ini. Aku sangat mengharap mu’jizat dari Allah SWT. Saat aku keluar, semua orang menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Dan masih tidak kujumpai sosok Angga di sekitarku. Ya, tentu saja. Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya dan tak ada waktu untuk sekedar menengokku. Dan benar, Indah baru saja menerima pesan dari Angga bahwa dia tidak bisa datang karena urusan pekerjaan. Dan dia juga berpesan akan menengokku beberapa harilagi. Walau aku terlihat lebih baik, namun dokter belum mengizinkanku berjalan untuk beberapa hari ke depan.
Aku sangat bahagia karena di saat aku berusaha untuk berjalan dan membutuhkan sosok seorang pelindung, Angga ada disampingku untuk menemani dan menjagaku. Memang, awalnya sungguh sulit dan sakit, aku sempat berfikir bahwa operasi ini gagal. Namun Angga memberiku semangat dan memotivasiku bahwa aku pasti bisa. Dan tak berlangsung lama, aku bisa berjalan berkat bantuan dan suport dari Angga. Sungguh, aku bersyukur atas mu’jizat Allah. Dia menggantikan bidadariku dengan seorang malaikat hatiku.
Sejak saat itu, aku dan Angga menjadi sepasang kekasih dan mampu mempertahankan cinta kami hingga kini.
            Semua itu adalah perjalanan hidupku 10 tahun yang. Kini, aku sudah sukses. Aku bekerja untuk sebuah perusahaan ternama. Akhirnya akudijodohkan oleh Allah dan menikah dengan Angga. Aku bahagia karena dibalik ketidaksempurnaanku, aku memiliki kehidupan yang jauh lebih sempurna dari siapapun.
Ibu, sekarang aku sudah sukses, aku sudah berhasil. Aku harap ibu bisa bangga denganku disana. Aku berjanji akan menjadi istri dan ibu yang baik. Seperti ibu dulu yang menjadi ibu yang terbaik untukku. Terimakasih ibu, terimakasih ya Allah atas semua kesempurnaan yang Engaku anugerahkan padaku.

-Sekian-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 comments:

Unknown said...

menangis T_T

Dimas said...

Mohon kritik dan saran demi kebaikan penulis :-)

Post a Comment